Selasa, 13 Maret 2012

Sunat Perempuan Untuk Anakku

Pada tahun 1999, aku melahirkan seorang bayi perempuan yang sehat dan sempurna fisiknya, dambaan semua calon ibu dan ayah baru.

Lalu apa hubungannya dengan sunat perempuan..? Karena kami merantau jauh dari orang tua, maka kami tidak melaksanakan segala adat yang berkaitan dengan bayi, baik sebelum atau sesudah persalinan. Anggaplah kami calon orang tua modern, tidak mau ribet dengan segala ritual apapun. Yang jelas, kami hanya berdoa berdua saat kandunganku berusia 4 bulan, karena masa ini terpenting, saat roh anakku ditiupkan. Semua hanya lillahita'allah saja, karena Alloh SWT. Orangtua di Jawa sudah berulangkali mengingatkan, agar mengadakan mitoni (tujuh-bulanan bayi), dan banyak hal pantangan lainnya. Bukan bermaksud melangkahi orang tua dan nasihatnya, tapi kami lebih berpikir praktis saja. Lebih baik dana untuk slametan mitoni disimpan untuk persiapan persalinan saja.

Saat bayi kami bawa pulang ke Jawa (berumur 2 bulan), baru serangkaian acara menyambut bayi dilakukan di rumah mertua. Si bayi harus dipijat seluruh badannya oleh Mbah paraji yang terpercaya. Oleh si Mbah, kepala bayi digunduli, rambutnya disatukan dengan bunga tiga rupa dan dilarung ke derasnya air sungai di kampung kami. Setelah itu, si bayi menjerit keras, aku kaget bukan kepalang. Ternyata, dia disunat... Anak perempuanku disunat? Kata si Mbah biar bersih... Katanya lagi bukan sunat seperti anak laki-laki., hanya dikerik sedikit di daerah klitorisnya. Tidak berdarah, dan tidak ada yang terpotong. Aku lega mendengarnya... tapi tetap aneh bagiku, kok perempuan disunat? Memang harus? Boleh tidak menolaknya atau tidak melakukannya? Hanya satu kewajiban kami yang aku percaya memang harus dilakukan, yaitu Aqiqah. Yang lainnya aku hanya menuruti orang tua dan adat budaya kami saja.

Seingatku, aku pernah bertanya pada Ibuku, apa aku dan kakak/ adik juga disunat dulu waktu kecil? Kata beliau tidak, karena tidak wajib. Tapi mengapa anakku harus disunat ya? Kata beliau, mungkin adat budaya di masyarakat suku Using di Banyuwangi harus begitu, tidak apa-apa. Ini terjadi karena aku dan suami berbeda daerah dan budaya. Jadi sunat perempuan hanya adat budaya, bukan keharusan. Menurut Islam yang aku tahu, yang wajib itu sunat anak laki-laki. Jadi selaku orangtua, adalah hakku untuk melaksanakan atau tidak, sunat perempuan untuk anak-anakku. Akan tetapi, walau aku tidak menginginkannya, hal ini pun terjadi lagi pada bayi perempuan keduaku pada tahun 2002. Tak bisa aku tolak kebiasaan adat ini. Aku setuju karena, tidak terlihat keanehan dan kesalahan pada kakak si bayi keduaku ini. Jadi, Bismillah...terlaksana lagi untuk kedua kalinya.

Membaca ulasan VOAnews, Sabtu, 10 Maret 2012, yang berjudul "Pemerintah Indonesia Didesak Hentikan Khitan Bagi Perempuan", sungguh menarik minat bacaku. Aku ingin mengangkat ulasan ini, karena ada pengalamanku yang sesuai dengan topik ini. Aku setuju saja dengan penghentian khitan/sunat bagi perempuan, asal bukan karena desakan pihak lain. Pemerintah pun tidak bisa asal melarang, karena sunat/khitan bagi perempuan sudah menjadi budaya di masyarakat. Adalah hak dari orangtua si anak yang bisa memutuskan untuk tetap melakukannya atau menghentikannya. Semua tergantung budaya dan kebiasaan masing-masing. Budaya setiap orang berbeda, di seluruh dunia. Pola pikir setiap orang pun berbeda. Jadi menurutku, untuk apa repot-repot pro/kontra soal sunat/khitan bagi perempuan. Masih banyak masalah yang lebih perlu diurus oleh kita dan dunia. Kecuali sunat/khitan yang ekstrim dan cenderung menyakiti, membuat luka, meninggalkan bekas pada perempuan itu sendiri. Hal yang seperti itu baru melanggar HAM si anak perempuan.

Aku memutuskan melakukannya untuk anakku pun karena budaya, secara akal pikirku hal itu tidak perlu, tapi budaya di sekitarku menghendakinya. Toh yang bertugas "menyunat" anak-anak perempuanku, adalah paraji berpengalaman. Dan tidak terlihat aneh pada fisik dan psikis anak-anakku, mereka tumbuh sehat, lincah, periang, pintar, hmmmm....memuji anak sendiri tidak cukup ruang menuliskannya hehe... Kita tidak bisa menyalahkan budaya orang lain, karena budaya kita menjadikan kita khas di  mata orang lain...Sudah selayaknya Pemerintah Indonesia menolak dunia internasional mencampuri urusan rakyatnya di semua bidang kehidupan...kecuali untuk urusan yang maha penting saja.


2 komentar: